Stop Perdagangan Illegal Satwa Liar melalui Jalur Sosial Media
Perdagangan satwa liar umumnya terjadi karena adanya hasrat manusia untuk
memiliki. Dwi Nugroho Adhiasto, dari Wildlife Conservation Society (WCS) secara
gamblang menuturkan perdagangan
illegal satwa liar di Indonesia pada Obrolan Sabtu Seru 17 April 2010 lalu.
Dwi menegaskan bahwa 80% satwa liar
di pasar burung berasal dari alam
dan hasil perburuan illegal. Minimal 4 ton gading telah beredar illegal
dalam empat tahun terakhir di Sumatra Bagian Selatan. Dan sedikitnya 2.000 ekor
trenggiling diekspor illegal per bulan sejak 2002. Akibat
perdagangan illegal ini, Indonesia mengalami kerugian sebesar Rp. 9 triliun/tahun
(PHKA, 2009).
Lantas bagaimana membunuh hasrat tersebut?
“Dari sisi LSM,
sudah banyak dilakukan kampanye tentang dampak negatif kalau tidak ada satwa
liar tersebut, tetapi sepertinya masyarakat masih belum peduli akan isu
tersebut. Mungkin berbagai kampanye tersebut perlu melibatkan berbagai kalangan
untuk mendukungnya”, jelas Dwi Nugroho di depan peserta Obrolan Sabtu Seru.
Burung dan
primata adalah satwa liar favorit dalam perdagangan gelap satwa liar
hidup. Produk (bagian tubuh) dari
mammalia dan reptilia juga paling sering dijumpai dalam perdagangan gelap.
Perdagangan ini terjadi karena “demand
& supply” yang tinggi.
Bagaimana cara
mencukupi permintaan akan kebutuhan tersebut?
Salah satu
caranya adalah melalui penangkaran.
Namun, tidak semua satwa yang diperdagangkan dan dikonsumi bisa dengan
mudah bisa dikembangbiakkan di penangkaran. Misalnya saja, badak, harimau dan
gajah.
Dan perburuan satwa
liar illegal tersebut bisa diminimalkan dengan adanya quota tangkap, seperti
jatah menangkap dan ekspor dibatasi. Saat ini tak bisa mendapatkan angka quota
tangkap yang tetap, ini bisa saja disebabkan karena berkurangnya populasi satwa
tersebut di alam atau memang sudah tidak ada sama sekali.
Meningkatnya
permintaan pasar dan perdagangan satwa liar ini tentu berkaitan erat dengan
pemberitaan di media massa. Wicaksono dari Tempo Interaktif yang hadir pada
Obrolan Sabtu Seru menyambung benang merah tentang perdagangan tersebut.
Lantas
bagaimana dengan komitmen media massa dalam mewartakan isu lingkungan?
Wicaksono pun
menjawab bahwa tidak banyak media cetak yang komitmen dan peduli dengan
lingkungan. Kecuali National Geographic Indonesia. Majalah Tempo pun hanya dua
halaman saja setiap minggunya. Isi berita dalam media massa amat bergantung
pada minat masyarakat, karena ada kepentingan bisnis dan ekonomi di dalamnya.
Hal yang sering
terjadi adalah pihak LSM kurang kreatif dalam membungkus informasi yang
dilontarkannya. Terlalu ilmiah dan penuh angka yang “tidak berarti apa-apa”.
Angka kerugian negara sebesar Rp. 9 triliun/tahun akibat perdagangan illegal
tersebut itu tidak berarti apa-apa bagi pembaca. Lain halnya bila disebutkan
bila akibat perdagangan illegal tersebut Indonesia gagal membangun berapa ribu
bangunan sekolah dan rumah sakit (yang nilainya setara dengan Rp. 9 triliun).
Mungkin bisa
juga dipakai beberapa shoot tentang perburuan satwa, hal ini lebih dapat
menyentuh perhatian pemirsa/pembaca, karena sesungguhnya saat ini masyarakat
kita lebih mudah tergerak oleh pemberitaan yang sifatnya menyedihkan.
Hindari juga
menggunakan bahasa yang terlalu ilmiah atau istilah teknis yang menyebabkan
masyarakat susah mencerna isi pesan yang akan disampaikan.
Ada pertanyaan
menarik, bagaimana LSM dapat mengontrol isi berita yang akan diwartakan sebelum
diterbitkan, karena terkadang isinya agak berbeda dengan informasi/data yang
sudah diberikan?
“Bisa jadi ada
dua kemungkinan, adanya penyampaian info yang tidak jelas dan adanya sudut
pengambilan cerita oleh wartawan. Biasanya wartawan akan membuat cerita yang terkait
dengan isu baru, yang memiliki dampak luas terhadap masyarakat. Tapi benar, bahwa
keakuratan data itu penting,” jelas Wicaksono.
Sebetulnya bila
LSM ingin agar informasinya diwartakan, mana lebih efektif, press release atau pendekatan pribadi
dengan staf media massa?
“Press release
itu metode tahun 70-an dalam menyebarkan informasi. Sekarang sudah banyak
sekali media/saluran komunikasi (facebook, tweeter, blog, plurk, website, dll.),
manfaatkan semua saluran komunikasi tersebut untuk menyebarkan informasi.
Tempatkan semua pesan di semua kerumunan, sehingga media massa “terkepung” oleh
informasi yang ingin kita sampaikan” saran Wicaksono, “dengan demikian media
massa akan mewartakan informasi yang dianggap penting tersebut” tambahnya.
Istilah kampanye
“low cost high impact” juga terlontar
dari mulut Wicaksono. Contohnya, secara visual bisa menitipkan video melalui
situs youtube, misalnya, hal ini memberikan
pengaruh positif bagi negara pemberi dana. Internet juga efektif untuk kampanye
dan bisa dikombinasikan dengan mengirimkan SMS untuk mengumpulkan info, lalu
disebarkan di internet. Tingkatkan kreatif di zaman internet untuk mencapai
hasil yang maksimal.[irma dana & jeni shannaz]
Salam Lestari dari Jember....
BalasHapusSalam Lestari!! trimakasih tlah berkunjung....salam kenal..
BalasHapusyupz... alam lestari pmanasan global menjauh..
BalasHapusfollow blogg kita y : www.pecinta-alam-mangrove.blogspot.com
#M.R. Bayuwardhana : setuju...tapi bisakan alam tetap lestari, jika kbijakan pemerintah hanya berpihak kpada para pengusaha yg rakus?
BalasHapus