SISTEM PENANGAN PENGURANGAN EMISI

Sektor kehutanan yang masuk dalam CDM (Clean Development Mechanism) terbatas pada peningkatan pengambilan karbon, sedangkan kegiatan konservasi belum diizinkan sebagai kegiatan CDM kehutanan. Peningkatan pengambilan karbon (rosot) dilakukan melalui kegiatan perluasan luas hutan dengan penanaman pohon di lahan kritis, gundul atau semak belukar dalam kawasan hutan (reforestasi) dan bukan hutan (afforestasi) serta pengelolaan hutan dengan menggunakan sistem pengelolaan yang berkelanjutan.
Definisi hutan, afforestasi dan reforestasi menentukan kelayakan suatu kawasan untuk proyek CDM. Definisi hutan antar negara tidak sama. Oleh karena itu usulan definisi hutanpun menjadi sangat beragam. Namun demikian secara umum hutan didefinisikan sebagai suatu kawasan dengan luasan minimal tertentu dan memiliki kerapatan biomass atau tingkat penutupan tajuk di atas batas minimum yang ditetapkan. Definisi umum ini nampaknya dapat diterima karena tidak akan berpengaruh besar terhadap definisi yang sudah digunakan oleh berbagai negara. Indonesia memilih suatu definisi hutan sebagai suatu kawasan dengan :
1. luas lahan minimal 0.25ha,
2. memiliki 30% kerapatan kanopi dari pohon-pohon,
3. dan tinggi pohon minimal 5 m.
Dengan definisi ini maka kebun singkong, kopi monokultur atau pohon pekarangan tidak masuk, kecuali kebun kopi dengan kerapatan kanopi dari kopi mencapai 30%. Karet, hutan tanaman industri masuk dalam definisi ini, demikian juga halnya dengan sistem agroforestri dimana pohon-pohon atau tanaman buah-buahan ditanam bersama tanaman tahunan.
Sementara, afforestasi menurut UNFCCC dalam Keputusan 17/CP7 didefinisikan sebagai penghutanan kembali melalui penanaman pada lahan yang 50 tahun sebelumnya bukan hutan., sedangkan reforestasi adalah penghutanan kembali pada lahan yang sejak tanggal 31 Desember 1989 bukan merupakan hutan melalui penanaman. Persyaratan ini harus dibuktikan, dan bila kawasan memenuhi kriteria hutan dan A/R CDM maka lahannya dikenal dengan istilah lahan CDM atau lahan Kyoto. Syarat keharusan lain adalah lahan bebas dari konflik serta mempunyai kepemilikan lahan yang jelas, dan mendapat dukungan masyarakat dan para pihak terkait dalam kegiatan CDM kelak. Satu kali kawasan diklasifikasikan sebagai lahan CDM, tahap berikutnya dalam proses CDM adalah menduga jumlah karbon yang dapat dirosot.
Perhitungan karbon dari suatu proyek CDM dapat dilakukan melalui dua cara yaitu pendekatan berdasarkan lahan (land-base accounting) dan pendekatan berdasarkan kegiatan (activity-base). Pendekatan berdasarkan lahan lebih disarankan karena monitoring kebocoran akan lebih mudah. Hal tersebut dapat ditunjukkan dari formula perhitungannya. Untuk pendekatan berdasarkan lahan, formula perhitungan carbon ialah sebagai berikut (IPCC, 2000):
dimana Q ialah Jumlah karbon yang diemisi atau diserap; i=1, 2, 3,…, M indeks untuk satuan lahan; j=1, 2, 3, …, N indeks untuk carbon pools (e.g. AGB, BGB, dst); k=1, 2, 3, …, R indeks penyesuaian; Si,j cadangan karbon pada lahan ke i dan carbon pool ke j, TB dan TE tahun awal and akhir komitmen. A ialah Faktor koreksi (misalnya baseline, leakage ect.)
Pendekatan berdasarkan aktivitas dirumuskan sebagai berikut:
dimana i=1, 2, 3, …, M indeks untuk aktivitas; ai = emisi atau penyerapan karbon oleh aktivitas ke-ii; dan Li = luas yang digunakan untuk aktivitas ke-i.
Dalam proses CDM pendekatan yang digunakan untuk menduga jumlah karbon yang direduksi melalui rosot (baseline) adalah metodologi yang telah disetujui (approved methodology) atau metodologi baru (new methodology). Tidak ada metodologi yang dianggap sempurna dan lengkap, sehingga pengembang proyek memiliki kesempatan untuk mengajukan metodologi baru apapun. Metodologi baseline yang telah disetujui tersedia di dalam website UNFCCC CDM (http://unfccc.int/cdm) lengkap dengan panduan yang relevan.
Kompensasi secara sederhana dihitung dari jumlah bersih dari total emisi GRK (tCO2 ekivalen/tahun) yang dapat diserap oleh suatu aktivitas dikali dengan kesepakatan harga karbon (US$/tCO2). Harga karbon CDM di pasaran dunia bervariasi dari US$ 2 – 10 per tCO2. Katakanlah proyek CDM HTI ditanam pada area seluas 10.000 ha dan mampu menyerap karbon rata-rata 53 tCO2/ha/tahun, maka akan diperoleh kompensasi sebesar 10.000 ha x 53 tCO2/ha/tahun x US$ 10 tCO2/ha = US$ 5.3 juta/tahun dalam periode kredit (10 tahun atau 7 tahun dengan 2 kali perpanjangan). Nilai ini belum dikurangi biaya transaksi serta biaya kegiatan pembangunan kehutanannya. Perolehan konpensasi sangat tergantung pada proses negosiasi internasional, dinamika pasar karbon internasional dan kapasitas nasional dalam menyerap karbon, sehingga nilai konpensasi yang didapat bisa lebih rendah ataupun lebih tinggi.
Di samping itu menurut Warta Bumi (2009), bahwa kompensasi jika harganya masih berkisar antara 3 – 15 US $ per ton karbon, atau bila nilai tengah kurs dolar Rp. 9.480,- per US $ (Bank Indonesia, 16 Desember 2009), maka berkisar Rp. 28.500,- - Rp. 142.500,-, dan dengan asumsi rata-rata kemampuan serapan karbon hutan tanaman sebesar 24 ton karbon per ha, maka untuk luasan kegiatan perdagangan karbon melalui jalur MPB (19.830.623 ha) diprediksi dapat menyerap sekitar 475.934.952 ton karbon dan menyerap sekitar 873.852.312 ton karbon melalui jalur Non Kyoto (36.410.513 ha), maka investasi yang mungkin terjadi dalam mekanisme perdagangan karbon ini cukup besar yakni sekitar 1.428 milyar – 7.139 milyar US $ melalui MPB (jalur Kyoto) dan sekitar 2.622 milyar – 13.108 milyar US $ melalui jalur Non-Kyoto. Sebuah angka yang fantastis. Dari 600 juta ton karbon dunia yang harus diserap selama periode komitmen pertama tahun 2008 – 2012, potensi untuk menyerap karbon dari sektor kehutanan di Indonesia diprediksi sebesar 28 juta ton karbon/tahun atau setara dengan luas penanaman sebesar 750.000 – 1 juta ha setiap tahunnya (jika potensi serapan karbon rata-rata + 24 ton Carbon/ha/tahun).
Pada periode komitmen tahun 2008 – 2012, maka kompensasi yang diperoleh sebesar 1 juta ha x 24 ton/ha/tahun x 10 US $ = 240 juta US $/tahun atau untuk luasan 10.000 ha diperoleh kompensasi sebesar 2,4 juta US $/tahun.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LEMBAGA KONSERVASI

Upacara Pembukaan Diklatsar XXI Mapar

Logo Ekolabel Swadeklarasi Indonesia